BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trauma adalah luka atau jejas baik
fisik maupun psikis yang disebabkan oleh tindakan-tindakan fisik dengan
terputusnya kontinuitas normal suatu struktur. Trauma gigi anterior sering
terjadi pada anak-anak karena anak-anak lebih aktif daripada orang dewasa dan
koordinasi serta penilaiannya tentang keadaan belum cukup baik sehingga sering
terjatuh saat belajar berjalan, berlari, bermain, dan berolahraga. Kerusakan
yang terjadi pada gigi anak dapat mengganggu fungsi bicara, pengunyahan,
estetika, dan erupsi gigi tetap sehingga mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan gigi serta rahang. Secara psikologis kehilangan gigi secara dini
terutama gigi anterior akan menyebabkan gangguan pada anak dan orang tua.
Penatalaksanaan trauma gigi pada anak selain menerapkan teknik-teknik serta
pemakaian bahan-bahan yang tepat juga harus memperhatikan pendekatan psikologis
agar anak tidak mengalami trauma lain disamping trauma gigi yang sedang
dialaminya. Oleh karena itu pendekatan terhadap orang tua dan anak merupakan
faktor-faktor penting yang harus diperhatikan.1
Pengertian trauma secara umum adalah
luka atau jejas baik fisik maupun psikis. Trauma dengan kata lain disebut injury
atau wound, dapat diartikan sebagai kerusakan atau luka yang biasanya
disebabkan oleh tindakan-tindakan fisik dengan terputusnya kontinuitas normal
suatu struktur. Trauma juga diartikan sebagai suatu kejadian tidak terduga atau
suatu penyebab sakit, karena kontak yang keras dengan suatu benda. Definisi
lain menyebutkan bahwa trauma gigi adalah kerusakan yang mengenai jaringan
keras gigi dan atau periodontal karena sebab mekanis. Berdasarkan
definisi-definisi tersebut maka trauma gigi anterior merupakan kerusakan
jaringan keras gigi dan atau periodontal karena kontak yang keras dengan suatu
benda yang tidak terduga sebelumnya pada gigi anterior baik pada rahang atas
maupun rahang bawah atau kedua-duanya. Penyebab trauma gigi pada anak-anak yang
paling sering adalah karena jatuh saat bermain, baik di luar maupun di dalam
rumah dan saat berolahraga. Trauma gigi anterior dapat terjadi secara langsung
dan tidak langsung, trauma gigi secara langsung terjadi ketika benda keras
langsung mengenai gigi, sedangkan trauma gigi secara tidak langsung terjadi
ketika benturan yang mengenai dagu menyebabkan gigi rahang bawah membentur gigi
rahang atas dengan kekuatan atau tekanan besar dan tiba-tiba.1
Trauma pada gigi dapat menyebabkan
injuri pulpa, dengan atau tanpa kerusakan mahkota atau akar, atau pemindahan gigi
dari soketnya. Bila mahkota atau akar patah atau mengalami fraktur, pulpa dapat
sembuh dan hidup terus, dapat segera mati, atau dapat mengalami degenerasi
progresif dan akhirnya mati. Salah satu contoh trauma rongga mulut yaitu trauma
fraktur dentoalveolar. Trauma dentoalveolar adalah trauma yang
mengenai gigi dan tulang alveolar pada maksila atau mandibula dan jaringan
pendukung gigi. Trauma dentoaveolar 60% terjadi pada anak khususnya di bawah
umur 5 tahun tetapi jarang mendapat penanganan di rumah sakit. Kejadian trauma
pada anak laki-laki dua kali lebih sering dibandingkan anak perempuan, hal ini
berkaitan dengan aktivitas fisik yang lebih tinggi pada anak laki-laki.
Anak-anak dengan kebutuhan khusus lebih rentan terhadap terjadinya trauma,
misalnya pada anak dengan keterbelakangan mental, dan epilepsy.
Menurut suatu penelitian prevalensi
tertinggi trauma gigi anterior pada anak-anak terjadi antara usia 1-3 tahun
karena pada usia tersebut, anak mempunyai kebebasan serta ruang gerak yang
cukup luas, sementara koordinasi dan penilaiannya tentang keadaan belum cukup
baik. Frekuensi trauma cenderung meningkat saat anak mulai merangkak, berdiri,
belajar berjalan, dan biasanya berkaitan dengan masih kurangnya koordinasi
motorik. Penelitian lain menyebutkan bahwa salah satu periode rawan fraktur
adalah pada saat usia 2-5 tahun, karena pada usia ini anak belajar berjalan dan
berlari. Prevalensi trauma gigi yang terjadi pada anak usia di atas 5 tahun
menunjukkan penurunan disebabkan karena koordinasi motorik anak yang semakin
membaik, namun terjadi peningkatan kembali pada periode 8-12 tahun karena
adanya peningkatan aktifitas fisik mereka.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas dapat dirumuskan bagaimana penanganan fraktur
dentoalveolar pada anak ?
C.
Tujuan
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk mengetahui baimanana penanganan fraktur dentalalveolar
pada anak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Fraktur Dentoalveolar
Fraktur
dentoalveolar didefinisikan sebagai kerusakan atau putusnya kontinuitas jaringan
keras pada stuktur gigi dan tulang alveolar yang disebabkan trauma, atau
fraktur yang meliputi avulsi, subluksasi, atau fraktur gigi yang berkaitan
dengan fraktur tulang alveolar. Fraktur dentoalveolar dapat terjadi tanpa atau
disertai dengan fraktur bagian tubuh lainnya, biasanya terjadi akibat
kecelakaan ringan seperti jatuh, terbentur saat bermain, berolahraga atau
iatrogenik
Tanda-tanda klinis fraktur dentoalveolar
diantaranya adalah adanya kegoyahan dan pergeseran beberapa gigi dalam satu
segmen, laserasi pada gingiva dan vermilion bibir, luka pada gingiva dan
hematom di atasnya, nyeri tekan pada daerah garis fraktur serta adanya
pembengkakan atau luka pada dagu. Pemeriksaan klinis yang teliti dan
pemeriksaan radiografi diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
Trauma dentoalveolar dapat menyebabkan
fraktur, pergeseran dan hilangnya gigi depan yang mengakibatkan perubahan
fungsi, estetis, gangguan berbicara, dan efek psikologis yang dapat mengurangi
kualitas hidup. Tanda-tanda klinis dari fraktur dentoalveolar adalah kegoyahan
dan pergeseran pada beberapa gigi dalam satu segmen, luka pada gingiva serta
pembengkakan pada dagu. Penyebab utama fraktur dentoalveolar adalah jatuh,
kecelakaan lalu lintas, dan kekerasan pada anak.
Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam
melakukan tindakan dalam penanganan trauma dentoalveolar diantaranya:
1. Umur dan kooperatif tidaknya anak
2. Durasi antara trauma dan perawatan
3. Lokasi dan perluasan
4. Injury terjadi pada gigi permanen atau gigi
susu
5. Perkembangan akar gigi
6. Ada tidaknya fraktur pada pendukung tulang
7. Kesehatan jaringan periodontal dan gigi yang
tersisa
B. Penangana
Trauma Fraktur Dentoalveolar
Perawatan atau
penanganan trauma fraktur dentoalveolar :
1. Kondisi
saluran pernapasan
Pasien yang mengalami trauma orofasial harus
diperhatikan benar-benar mengenai pernapasannya. Tindakan pertama adalah
aspirasi darah, pengambilan serpihan gigi atau protesa. Dasar dari usaha
mempertahankan jalan napas adalah dengan mengontrol perdarahan dari
mulut/hidung dan membersihkan orofaring. Gigi yang sangat goyang yang
dikhawatirkan akan terlepas sendiri, atau terhisap sebaiknya dicabut.
Fraktur-fraktur tertentu misalnya fraktur bilateral melalui region mentalis
atau fraktur maksilla dengan pergesaran ke arah posteroinferior menuju faring,
cenderung menyumbat saluran pernapasan. Jika fragmen symphysis mandibulae
bergeser ke posterior, maka dukungan ke arah anterior terhadap lidah akan
hilang, sehingga mengakibatkan kolaps lidah ke arah posterior (ke faring).
Pergeseran maksilla ke arah inferoposterior bisa
mengakibatkan penyumbatan mekanis langsung pada orofaring. Lidah bisa dikontrol
dengan melakukan penjahitan menggunakan benang sutera tebal pada ujung lidah
dan menahan lidah untuk tetap pada posisi anterior. Keterlibatan maksila tidak
mudah diatasi dan mungkin tergantung pada reduksi dari fraktur, atau paling
tidak pada imobilisasi sementara yang dilakukan dengan jalan mengfiksasinya
terhadap mandibula yang masih utuh
2 2. Sumbatan
jalan nafas yang tertunda
Sumbatan
tertunda dari jalan napas bisa disebabkan karena pembengkakan atau edema lidah
atau faring yang diakibatkan oleh hematom sublingual, luka-luka lingual,
menghisap udara panas atau menelan bahan kausatik. Hematom bisa
menyebabkan elevasi dan penempatan lidah ke arah posterior. Luka-luka dan luka
bakar sering menyebabkan terjadinya edema lidah yang besar dan juga
menyebabkan lidah tergeser ke arah posterior. Cedera pada saraf sering
mempersulit masalah yang sudah ada, yakni berupa gangguan dalam melakukan
kontrol gerakan lidah. Apabila diperkirakan akan terjadi edema lingual atau
faringeal, maka penggunaan fiksasi maksilomandibular ditunda. Fiksasi
interdental yang kaku menyebabkan lidah tidak dapat diprotrusikan, sehingga
membuat lidah cenderung bergerak ke arah posterior dan berakibat fatal. Apabila
kondisi saluran pernapasan diragukan, bisa dilakukan pemasangan alat
bantu pernapasan oro- atau nasofaringeal, intubasi endotracheal dan
tracheostomi pada kasus tertentu.
3. Perdarahan
Perdarahan
yang menyertai trauma orofasial jarang berakibat fatal. Penekanan, baik
langsung dengan jari atau secara tidak langsung dengan menggunakan kasa, bisa
menghentikan sebagian besar kasus perdarahan rongga mulut. Untuk membatasi
perdarahan kadang-kadang diperlukan klem dan pengikat pembuluh yang terlibat
(biasanya a. maksillaris, a. lingualis, a. karotis eksterna). Walaupun
perdarahan yang tertunda jarang menimbulkan masalah yang serius, tetapi karena
diperlukan untuk tindakan bedah pada waktu selanjutnya, maka pada sebagian
besar trauma orofasial mayor harus dilakukan pemeriksaan golongan darah untuk
keperluan tranfusi.
4. Antibiotik
Terapi
antibiotic profilaksis diberikan berdasarkan pada kondisi individu. Terapi ini
diperuntukkan pada individu resiko tinggi, terutama untuk pasien di mana daerah
yang mengalami fraktur terbuka (berhubungan dengan permukaan kulit atau
mukosa) dan kemungkinan besar terkontaminasi, atau apabila perawatan definitif
harus ditunda .
5. Kontrol
rasa sakit
Terapi
untuk menghilangkan rasa sakit biasanya minimal, karena pasien yang mengalami
cedera yang relatif berat, tidak terlalu menderita seperti kelihatannnya.
Karena analgesic narkotik cenderung menimbulkan edema serebral dan menyulitkan
penentuan tingkat kesadaran, pemberiannya ditunda sampai pasien jelas mengalami
cedera kranioserebral. Pada mulanya obat-obatan narkotik untuk pemberian
intravena atau intramuscular sering digunakan. Namun selanjutnya, kombinasi
narkotik/ non narkotik mulai dapat diberikan secara oral dan sering terdapat dalam
bentuk cairan. Aplikasi dingin pada bagian yang mengalami cedera bisa
mengurangi ketidaknyamanan, dan sekaligus mengontrol edema.
6 6. Perawatan
pendukung
Karena
pasien biasanya tidak bisa makan secara normal, terapi pendukung untuk pasien
orofasial terdiri atas pemberian cairan yang cukup. Di rumah sakit hal ini
dilakukan dengan pemberian cairan intravena (biasanya larutan elektrolit yang
seimbang). Untuk perawatn di rumah, maka pemberian cairan bisa dilakukan
lewat mulut. Pasien diberi diet cairan, kadang ditambah dengan protein
atau vitamin. Seringkali pasien trauma orofasial harus berpuasa selama menunggu
pembedahan.
Cara
lain melakukan perawatan trauma fraktu dentoalveolar yaitu perawatan fraktur dentoalveolar dilakukan dengan
mereduksi atau mengembalikan segmen fraktur pada posisi sebenarnya dan
dilakukan fiksasi sampai terjadi penyembuhan tulang. Reduksi tulang dapat dilakukan
secara bertahap dengan guiding elastic, menggunakan teknik ortodontik1 dan
dengan menekan segmen tulang atau gigi secara digital pada tulang alveolus dan
gigi.9 Fiksasi dapat dilakukan dengan dental wiring, arch bar,
resin komposit. Teknik sirkum mandibular wiring adalah metode dengan
invasif minimal, dengan stabilisasiyang baik dibandingkan metoda ORIF.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Trauma
fraktur dentoalveolar merupakan trauma yang ditandai dengan adanya
kegoyangan dan pergeseran beberapa gigi dalam satu segmen, laserasi pada
gingiva dan vermilion bibir,adanya pembengkakan atau luka pada dagu serta
adanya luka pada gingiva dan hematom di atasnya, serta adanya nyeri tekan pada
daerah garis fraktur. Hal ini disebabkan oleh
adanya trauma tidak langsung pada gigi atau tulang pendukung yang
dihasilkan dari pukulan atau tekanan pada dagu seperti terjatuh dari motor,
terbentur benda keras, dll.
B.
Saran
Trauma fraktur dentoalveolar dapat terjadi
pada siapa saja, terutama pada anak-anak mulai berkembang dan tidak dibawah
pengawasan orang tua. Oleh karena itu diharapkan orang tua dapat memantau
pergerakan dan aktivitas yang dilakukan oleh anak.